 |
pixabay.com
|
Bungkus Cinta?
Tak lama lagi adalah akhir masa pendidikan dua sejoli, Yode dan Aima. Mereka kini tengah duduk di bangku sebuah joglo, tempat yang lazimnya menjadi lokasi taruna taruni bertemu, bercengkerama bahkan mengadakan kegiatan yang cukup serius.
"Kenapa kita tidak menikah saja?" tanya Aima berhati-hati.
"Bukan dengan membawaku kabur dari rumah dan merencanakan yang tidak-tidak," Aima melanjutkan dengan nada yang semakin pelan.
Bendungan air mata Aima memang tak terlihat oleh Yode yang menunduk lesu. Mendapati Aima tak setuju dengan ajakannya, Yode kini lebih banyak diam. Hampir lima belas menit mereka terpaku di bangku, joglo seakan jadi milik berdua. Yang lewat enggan menyapa, yang duduk di bangku joglo tampak sedang dirudung masalah, menunduk diam.
Jam bebas selepas apel malam akan segera usai, Aima mencoba melihat orang yang duduk di sampingnya, berharap ia mau buka suara. Tak kunjung melihat wajah seseorang disampingnya terangkat, Aima kemudian memutuskan berdiri, hendak melangkahkan kaki kembali menuju asmara putri.
"Aima" panggil Yode lirih. Menghentikan langkah Aima dan membawanya duduk kembali.
"Sebenarnya ada apa, Yod? Coba ceritalah mengapa tiba-tiba ingin mengajak kawin lari?" Aima memelas, memohon supaya tidak lagi diam.
"Apa orang tuamu hendak menjodohkan? Atau orang tuamu tak setuju bila kita ke hubungan yang lebih serius? Atau kenapa sebenarnya?"
Sayangnya Yode kembali diam. Bahkan untuk menenangkan Aima yang mulai gusar, ia tak berdaya untuk mengangkat wajahnya sendiri dan menghadapi wajah Aima.
"Ah, ini tak boleh. Mendekapnya untuk menenangkan jiwa bahkan mengusap pipinya yang basah karena air mata pun tak boleh," batin Yode dalam diamnya.
"Kembalilah, Yode," ucap Aima tiba-tiba sambil menyeka air matanya.
"Lebih baik pulanglah ke rumah orang tua. Mengajakku kawin lari tak menjamin kita jadi mendekat pada Allah," lanjut Aima.
"Aku akan dijodohkan jika kembali ke rumah," sahut Yode tiba-tiba, "kamu yang aku cintai dan aku ingin bersamamu, Aima."
"Lantas apa begini caranya, Yode? Untuk apa kita kawin lari?" periksa Aima.
"Pean ikutlah aku ke rumah, tinggallah bersamaku dan kedua orang tuaku. Mereka mungkin bisa menerima pean setelah mengenal pean."
"Mungkin? Lalu bagaimana orang tuaku, apa artinya aku tinggal denganmu tanpa restu orang tuaku?" mata Aima mulai membuat bendungan air mata, "restu yang membuat pernikahan kita sah, restu yang membuatmu bisa membawaku kemanapun tujuanmu."
Dua tahun kemudian
"Saat bahagiaku...saat berdua denganmu, hanyalah bersamamu...," seorang perempuan mencoba menyanyikan lirik lagu Band Ungu feat Andien, bernyanyi sembari memandangi foto dalam ponsel yang ia genggam. Sesekali air matanya mengalir dari salah satu sudut mata.
Dua tahun berlalu selepas lulus dari masa pendidikan, tak membuat Aima mudah untuk membuka hati. Memperbesar kesempatan diri menemukan yang terbaik. Bahkan pekerjaan sebagai salah satu tenaga penjamin kualitas produk di perusahaan ekspor perikanan tak cukup membuat nama Yode hengkang dari hati dan pikiran. Pikirannya masih memahami bahwa Yode adalah pejuang yang tak akan hentikan diri mewujudkan mimpi. Hingga ketika ia mengalami kecelakaan nyaris kehilangan nyawa, Yode yang memilih tak datang menemani walau sejenak, membuat hati Aima merasa pilu dan kecewa.
"Aima, ada Pak Ustad mau menjenguk ini," Ibu Aima mempersilakan seorang berkopyah masuk ke tempat istirahat Aima.
"Assalammualaikum, Aima. Gimana keadaanmu hari ini?" Pak Ustad Jaz menyapa Aima.
Aima menangis dan malah berujar, "Kenapa Allah jahat, Pak Ustad? Kenapa Allah tak mendengarkan doa saya? Kenapa Allah yang saya andalkan kuasanya justru diam saja?"
Ibu Aima ikut menangis mendapati keadaan putrinya yang marah-marah pada Allah SWT. Pak Ustad yang sering menyampaikan ilmu agama dengan gaya jenakanya, diam mendapati muridnya melontarkan rentetan protes kepada Tuhan. Pak Ustad pun menanggapi protes Aima ketika Aima tampak mulai tenang.
"Sabar ya, Aima. Aima kan tau, ada beberapa bentuk Allah menjawab doa hamba-Nya: dijawab langsung, ditunda, diganti dengan yang lebih baik." Pak Ustad tersenyum pada Aima berusaha mengingatkannya kembali kepada kebaikan, pada keluhuran jiwa.
Selesai mendoakan dan berpamitan pada Aima, Ibu Aima mengantar Pak Ustad keluar. Aima yang sudah cukup tenang, memperhatikan guru dan ibunya menjauh, berlalu dari pandangannya. Pikiran Aima teringat angan-angannya beberapa tahun silam.
"Apa sudah berakhir, Yode? Sudah tidak bisakah keadaan yang berbeda disatukan? L*II dan *U itu benarkah bukan ditunda melainkan diganti yang lebih baik karena memang tak mungkin?" Aima membatin.
"Sudah tak apa, Ma..., baca Alquran saja ya banyak-banyak. Pak Ustad tadi pesan begitu juga sebelum pulang." Ibu Aima menghampiri Aima memecahkan lamunannya.
Beberapa hari kemudian, kesehatan Aima yang kian membaik, membuat Aima lebih kuat melanjutkan hari dengan hati lebih lapang. Cita-citanya yang mungkin gagal dan sudah diputuskan untuk ditinggalkan sebagai kenangan masa lalu belaka, tak lagi ingin diingat.
Beberapa bulan kemudian...
"Duding", sebuah pesan masuk ke ponsel Aima saat perjalanan pulang dari mengaji.
"Apa pean mau jadi istri kedua, Aima?" isi pesan masuk ke ponsel Aima.
"Ini pasti Yode." Aima memblokir nomor baru pembawa pesan tersebut, menghapus pesan masuknya kemudian melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
~Cinta yang Tak Terbungkus Cita~Biarlah hanya jadi Cerita~Bahagia di jalan yang tak lagi sama~