Tampilkan postingan dengan label Jus Strowberry-Just Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jus Strowberry-Just Story. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 April 2023

LA TAHZAN - I Feel You

Gagal itu tidak enak, sangat tidak enak. Sedih pasti, mengambil hikmah belum tentu jadi pilihan diri.

Tulisan ini berkisah tentang dua ketertarikan yang mengapa enggan untuk menempel seperti magnet yang saling tarik menarik. Gagal membina hubungan pasti menyisakan kenangan tidak menyenangkan hati, i feel you tapi kata Allah, kata Tuhan kita, La Tahzan, jangan bersedih. Why? 

I. Getaran 


    “Pak, mie ayamnya satu mangkok. Pean tambahi ceker setunggal nggih, Pak,” pinta seseorang yang bernada sampai di telingaku. Ya, seseorang yang entah bagaimana bisa hanya nada suaranya saja menggema memenuhi cerebrum, seakan menguasai tak hanya pusat pendengaran Lobus temporal di tengkorak kepala. 

    Padahal saat itu hujan masih cukup deras, kendaraan masih banyak yang berlalu lalang dengan kebisingan yang wajar di jamnya, orang pulang kerja. Mie ayam yang telah kunikmati beberapa menit sebelum nada itu keluar dari mulut seseorang juga masih menjadi pusat perhatian dengan atmosfir uapnya, menggugah selera saat hawa dingin melanda. 
“Permisi, ya, Mbak,” sejurus kemudian suara itu mengagetkanku yang tengah mencoba memahami gaungan percakapan seorang konsumen ke penjual mie ayam. 
“Eh, iya, monggo-monggo, Pak,” ucapku menganggukkan kepala seraya tersenyum seolah sedang mempersilakan duduk. 
“Kok, pak sih… mas dong.”
 “Eh, iya, Mas.” Akupun kembali melanjutkan menyantap mie ayam yang sedari tadi aku aduk-aduk untuk menghempaskan uap panasnya.
 “Apa aku salah tadi memanggilnya dengan panggilan ‘Pak’. Bukankah itu panggilan yang baik karena lebih menghormati. Lagipula brewoknya yang tidak lebat membuatnya nampak seperti seorang laki-laki yang sudah punya keluarga,” aku membatin. 
“Orang pajak, ya?”
“Ha? Bukan, Pak.”
“Loh, kok pak lagi.”
 “Ah, iya, Mas. Saya sedang survei pemutakhiran Pajak Bumi Bangunan (PBB) di Kecamatan Taman sini.”
 “Oh, survei… dari universitas mana?”
 “Dari ITS, Pak, Mas.” jawabku belepotan.
Haduh… kok nggak enak banget gini,” aku membatin lagi ketika pemuda di hadapanku terus mengajakku berbicara. "Aku harus segera menghabiskan mie ayamku dan bergegas pergi," misi spontan yang melintas di kepalaku.

“Wah, kebetulan, aku punya banyak teman sebagai dosen di sana. Kenal Pak Dibyo, nggak? Dia temenku pengerjaan proyek. Aku orang proyek.”
“Oh, iya, Mas. Alhamdulillah,” sahutku singkat.
“Dulu waktu ada proyek di daerah Kecamatan Taman sini aku urus pajak di UPT (Unit Pelayanan Teknis) di dekat stasiun situ. Eh, tapi nggak bisa. Katanya pajak pembangunan proyek tempatnya bukan di situ tapi di pusat kota. Bener gitu, ta?” tanyanya masih menggebu.
“Maaf, saya ndak tau, Mas. Saya hanya ikut proyek ITS untuk survei,” jawabku berusaha mengingatkan posisiku hanya sebagai seorang surveyor bukan pegawai pajak. 
    Aku maklum kalau pria di depanku ini mengira diriku adalah pegawai dinas pajak setempat. Aku masih mengenakan rompi survei dengan logo kabupaten dan nama dinas saat berteduh di warung mie ayam yang luasnya sekitar 3x3 m persegi. Hari itu aku memang belum menyelesaikan surveiku meski waktu sudah mulai petang. Hujan deras yang tiba-tiba mengguyur jalanan pertigaan arah masuk komplek Perumahan Citra Harmoni membuatku menepi dan masuk warung mie ayam ini.

    Sepanjang depan pertigaan pintu masuk Perumahan Citra Harmoni memang berjejer pedagang kaki lima yang menjajakan aneka santapan. Sate ayam, mie ayam, bakso, nasi goreng mie goreng, martabak telur dan terang bulan hingga roti bakar maupun pentol 500-an. Adanya Indomar*t di seberang jalan dan jejeran toko mulai dari apotek hingga toko kelontong menambah ramainya lalu lalang.

     Aku jadi tak bisa mengerti, mengapa suara lelaki di hadapanku ini bisa menggema di otak. Padahal suasana jalan kota bukan lagi sunyi dan hujan sedang mengguyur dengan derasnya. Aneh bin ajaib.

    Tak sengaja aku memperhatikan lelaki yang tengah duduk di hadapanku saat ini. Ia tampak menawan sejujurnya. Penampilannya rapi, sikapnya sopan, serta pembawaannya yang tampak bersemangat membuatku ingin tau siapa dia. 

    Dia masih saja bercerita dan bertanya, menanyakan tempat tinggalku dan bagaimana aku bisa sampai semalam ini. Tertarik, ia aku rasanya tertarik padanya. Namun, rasa tertarik itu tidak lebih besar dari rasa takutku untuk mengenalnya, saat ini. 

    Entah mengapa begitu, mungkin aku malu pada perempuan lain yang satu meja dengan kami dan abang penjual mie ayam yang jarak duduknya masih bisa untuk menguping kami. Mie ayamku sudah tinggal separuh porsi. Lelaki di hadapanku justru baru saja mendapatkan semangkuk penuh mie ayam dengan ceker ayam di atasnya. 

    Uap yang mengepul tak luput dari pemandangan di sekitar mangkuk mie ayamnya. “Awas panas,” kataku untuknya yang tersimpan dalam pikiran. Tiba-tiba aku tak ingin segera menghabiskan mie ayamku, aku ingin berbincang lama dengannya. Hanya saja aku tidak tau perbincangan untuk mengulur waktu agar dapat tetap tinggal.

    Aku merasa grogi berbincang dengannya. Kegrogian itu semakin tampak setelah mie ayam di mangkukku benar-benar wassalam, tinggal mangkuk dan sendok garpu saja. Aku tak punya pilihan lain selain segera hengkang dari warung mie ayam ini. Aku tak ingin membuat diriku malu. Hujan yang mereda juga tak bisa lagi jadi alasanku berlama. 
“Eh, simpan no hpku, ya? Mau minta no hpmu, hpku tertinggal di tas.”
    Kaget mendengar permintaan lelaki yang sedang menikmati mie ayamnya, aku seperti terhipnotis dan mengeluarkan hpku dari saku rompi dan menyentuh papan layar hp sesuai dikte darinya.
“Siapa namanya, Pak?”
“Loh, bapak lagi. Mas Hafid.”
 Aku yang tak enak hati karena salah terus dalam memanggil segera berdiri dan berpamitan padanya.
Nggeh sampun, saya permisi jalan dulu, Mas.”
“Sudah dimiscall? Hubungi aku ya kalau belum.”
    Aku hanya mengangguk dan berlalu menuju penjual mie ayam. 

II. Angin Surga 


    Alhamdulillah aku bisa mencapai target survei per hari untuk hari ini. Sebentar lagi upah atas hasil surveiku sampai akhir bulan Februari kemarin juga tak lama lagi cair. “Asyiik…,” pekikku membayangkan rekeningku berbunyi tuing-tuing, “hihihihi, Alhamdulillah,”

    Aku jadi ingin melihat handphone yang belum kukeluarkan dari tas sejak sampai rumah. Aku simak percakapan teman-teman menanggapi fee yang tak lama lagi cair. Tak jauh beda dengan membayangkan rekeningku yang berbunyi tuing-tuing, percakapan teman-teman di grup lebih membuatku bisa cekikikan sendiri. 
    
    “Hem… Alhamdulillah, Ya Allah,” pikirku sembari menghela nafas sesaat setelah kuselesaikan membaca obrolan di grup kerja. Baru saja ponsel kuletakkan, aku teringat anggukanku pada lelaki yang kudengar bernama Hafid kemarin. 

    “Mana ya nomornya kemarin?” aku mulai mencari nomornya di list panggilan. Ketiadaan pulsa regular, membuatku berani menelponnya hanya supaya nomornya tercatat. “Ehm, kemarin aku ketemu sekitar magrib,” gumamku sambil mencari. 

    “Hei, aku sudah menyimpan nomornya kemarin selesainya salat magrib di musala tak jauh dari penjual mie ayam. Ah, dia punya wa juga seingatku kemarin,” pekikku dalam hati. Jelas saja di list chat wa tidak ada karena aku belum mengontaknya sejak kemarin. 

    “Aku sudah menurutinya dengan menghubunginya meski tak terhubung dan menyimpan nomor handphonenya. Kenapa sekarang aku bingung untuk chat orang ini,” protesku pada hati yang tak sejalan dengan pikiran. 

    Gambar seorang karateka wanita luar negeri aku perhatikan, ini adalah foto profil lelaki bernama Hafid itu. Akhirnya kuhubungi ia melalui wa. 
“Prima”
“Hi, makasih. Kapan-kapan ngopi, yuk?”
“Aku tak biasa ngopi. Kenapa baru kenal sudah mau ngajak ngopi?”
“Karena aku suka kamu.”
 “Ha? Yang benar saja! Apa maksudnya suka. Ah, suka sebagai teman ini pasti maksudnya,” aku membatin. 
“Suka sebagai teman, kan?” 
“Ya, nggak lah. Lebih dari teman.”
 “…”. Aku diam tak berkutik.
    Suka, kata ini sangat lama tak kudengar, ‘Suka’. Aku masih termangu membaca balasan laki-laki yang baru kukenal ini.

III. I Love You? 


    Tidak terasa bak usia Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, dan Ejaan LBK atau sekitar lima tahun sudah kita berkenalan. Tinggal-meninggalkan, lupa-melupakan, maaf-memaafkan, hingga kembali-mengembalikan seperti wayang yang dimainkan dalam cerita perkenalan kita.

    La Tahzan, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an bukankah selalu menghibur kita dan tentu sepatutnya kita tidak bersedih karena kita sudah sesabar ini untuk saling mengenal hingga selama ini.

Ketika aku melihatmu
Diam menikmati minumanmu
Bukan kopi
Melainkan teh
Karena akhirnya kutau
Kau tak biasa minum kopi

Kenapa berbeda Antara pertama bertemu 
Aku lebih senang melihatmu bersemangat
Seolah tak ada aral rintang yang tak bisa kau taklukan

Kau bukan Hafid
Namamu Aviv
Entah apa alasanmu 
Mengapa membiarkanku salah
Hingga kudapati yang benar

Kukira kau tak bisa menyerah pada keadaan
Bahkan bila yang kau hadapi Izrail 
Yang kurindu

Tetapi… Untukmu Tak ada kata kecuali
Karena aku menantikanmu sejak jauh hari
Kaukah itu?

Bagaimana pun masa lalumu
Bagaimana pun kondisimu
Aku berharap Allah menerangi jalanmu
Menemukanku walau tak lagi 
Di dekatmu 

Semoga diriku cukup untukmu
Senyumku bisa membayar lelahmu
Tak pernah menyerah padaku 

Hope Allah always keep you safe
Keep your smile

Kita pasti bersama
Bila menurut Tuhan MahaTahu
Bersama adalah terbaik untuk akhir cerita kita

Namun memori yang membuat luka
Memang tak mudah untuk dilupa
PR yang tak mudah
Hingga luka tak lagi berbekas
Dalam jiwa yang boleh lelah
La Tahzan


Catatan: 

LATAHZAN. Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam program WFH (Writing for Healing) yang diadakan oleh Books4care, pada tahun 2020. Dengan perubahan yang diperlukan pada saat diunggah ke blog pribadi ini, sebagai kenang-kenangan, apresiasi diri dalam membuat karya tulis berupa memoar diri. Sekalipun belum lolos untuk dibukukan, tulisan lain dalam program WFH (Writing for Healing) dapat dibaca dalam antologi bersama "Perjalanan Luka". 

Kunjungi saja laman kinaraya.com-Karya Kembar di Era Pandemi atau hubungi no wa adminnya di +62856-9546-2056 untuk pemesanan. Teman-teman juga dapat mengikuti sayembara kepenulisan yang biasa diadakan oleh ig:Books4care. Terima kasih dan semoga bermanfaat.


 
Qs. At Taubah:40



Minggu, 22 November 2015

Nobody Perfect so...

pixabay.com

Bungkus Cinta?

Tak lama lagi adalah akhir masa pendidikan dua sejoli, Yode dan Aima. Mereka kini tengah duduk di bangku sebuah joglo, tempat yang lazimnya menjadi lokasi taruna taruni bertemu, bercengkerama bahkan mengadakan kegiatan yang cukup serius.

"Kenapa kita tidak menikah saja?" tanya Aima berhati-hati. 
"Bukan dengan membawaku kabur dari rumah dan merencanakan yang tidak-tidak," Aima melanjutkan dengan nada yang semakin pelan.

Bendungan air mata Aima memang tak terlihat oleh Yode yang menunduk lesu. Mendapati Aima tak setuju dengan ajakannya, Yode kini lebih banyak diam. Hampir lima belas menit mereka terpaku di bangku, joglo seakan jadi milik berdua. Yang lewat enggan menyapa, yang duduk di bangku joglo tampak sedang dirudung masalah, menunduk diam.

Jam bebas selepas apel malam akan segera usai, Aima mencoba melihat orang yang duduk di sampingnya, berharap ia mau buka suara. Tak kunjung melihat wajah seseorang disampingnya terangkat, Aima kemudian memutuskan berdiri, hendak melangkahkan kaki kembali menuju asmara putri.

"Aima" panggil Yode lirih. Menghentikan langkah Aima dan membawanya duduk kembali.

"Sebenarnya ada apa, Yod? Coba ceritalah mengapa tiba-tiba ingin mengajak kawin lari?" Aima memelas, memohon supaya tidak lagi diam.

"Apa orang tuamu hendak menjodohkan? Atau orang tuamu tak setuju bila kita ke hubungan yang lebih serius? Atau kenapa sebenarnya?"

Sayangnya Yode kembali diam. Bahkan untuk menenangkan Aima yang mulai gusar, ia tak berdaya untuk mengangkat wajahnya sendiri dan menghadapi wajah Aima.

"Ah, ini tak boleh. Mendekapnya untuk menenangkan jiwa bahkan mengusap pipinya yang basah karena air mata pun tak boleh," batin Yode dalam diamnya.

"Kembalilah, Yode," ucap Aima tiba-tiba sambil menyeka air matanya.
"Lebih baik pulanglah ke rumah orang tua. Mengajakku kawin lari tak menjamin kita jadi mendekat pada Allah," lanjut Aima.

"Aku akan dijodohkan jika kembali ke rumah," sahut Yode tiba-tiba, "kamu yang aku cintai dan aku ingin bersamamu, Aima."

"Lantas apa begini caranya, Yode? Untuk apa kita kawin lari?" periksa Aima.

"Pean ikutlah aku ke rumah, tinggallah bersamaku dan kedua orang tuaku. Mereka mungkin bisa menerima pean setelah mengenal pean."

"Mungkin? Lalu bagaimana orang tuaku, apa artinya aku tinggal denganmu tanpa restu orang tuaku?" mata Aima mulai membuat bendungan air mata, "restu yang membuat pernikahan kita sah, restu yang membuatmu bisa membawaku kemanapun tujuanmu."


Dua tahun kemudian

"Saat bahagiaku...saat berdua denganmu, hanyalah bersamamu...," seorang perempuan mencoba menyanyikan lirik lagu Band Ungu feat Andien, bernyanyi sembari memandangi foto dalam ponsel yang ia genggam. Sesekali air matanya mengalir dari salah satu sudut mata.

    Dua tahun berlalu selepas lulus dari masa pendidikan, tak membuat Aima mudah untuk membuka hati. Memperbesar kesempatan diri menemukan yang terbaik. Bahkan pekerjaan sebagai salah satu tenaga penjamin kualitas produk di perusahaan ekspor perikanan tak cukup membuat nama Yode hengkang dari hati dan pikiran. Pikirannya masih memahami bahwa Yode adalah pejuang yang tak akan hentikan diri mewujudkan mimpi. Hingga ketika ia mengalami kecelakaan nyaris kehilangan nyawa, Yode yang memilih tak datang menemani walau sejenak, membuat hati Aima merasa pilu dan kecewa.

"Aima, ada Pak Ustad mau menjenguk ini," Ibu Aima mempersilakan seorang berkopyah masuk ke tempat istirahat Aima.

"Assalammualaikum, Aima. Gimana keadaanmu hari ini?" Pak Ustad Jaz menyapa Aima.

Aima menangis dan malah berujar, "Kenapa Allah jahat, Pak Ustad? Kenapa Allah tak mendengarkan doa saya? Kenapa Allah yang saya andalkan kuasanya justru diam saja?"

Ibu Aima ikut menangis mendapati keadaan putrinya yang marah-marah pada Allah SWT. Pak Ustad yang sering menyampaikan ilmu agama dengan gaya jenakanya, diam mendapati muridnya melontarkan rentetan protes kepada Tuhan. Pak Ustad pun menanggapi protes Aima ketika Aima tampak mulai tenang.

"Sabar ya, Aima. Aima kan tau, ada beberapa bentuk Allah menjawab doa hamba-Nya: dijawab langsung, ditunda, diganti dengan yang lebih baik." Pak Ustad tersenyum pada Aima berusaha mengingatkannya kembali kepada kebaikan, pada keluhuran jiwa.

Selesai mendoakan dan berpamitan pada Aima, Ibu Aima mengantar Pak Ustad keluar. Aima yang sudah cukup tenang, memperhatikan guru dan ibunya menjauh, berlalu dari pandangannya. Pikiran Aima teringat angan-angannya beberapa tahun silam.

"Apa sudah berakhir, Yode? Sudah tidak bisakah keadaan yang berbeda disatukan? L*II dan *U  itu benarkah bukan ditunda melainkan diganti yang lebih baik karena memang tak mungkin?" Aima membatin.

"Sudah tak apa, Ma..., baca Alquran saja ya banyak-banyak. Pak Ustad tadi pesan begitu juga sebelum pulang." Ibu Aima menghampiri Aima memecahkan lamunannya.

Beberapa hari kemudian, kesehatan Aima yang kian membaik, membuat Aima lebih kuat melanjutkan hari dengan hati lebih lapang. Cita-citanya yang mungkin gagal dan sudah diputuskan untuk ditinggalkan sebagai kenangan masa lalu belaka, tak lagi ingin diingat.

Beberapa bulan kemudian...

"Duding", sebuah pesan masuk ke ponsel Aima saat perjalanan pulang dari mengaji.

"Apa pean mau jadi istri kedua, Aima?" isi pesan masuk ke ponsel Aima.

"Ini pasti Yode." Aima memblokir nomor baru pembawa pesan tersebut, menghapus pesan masuknya kemudian melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
 
~Cinta yang Tak Terbungkus Cita~Biarlah hanya jadi Cerita~Bahagia di jalan yang tak lagi sama~

There are two humans

pixabay.com

Cita-cita

"Aku ingin membahagiakan banyak orang."
Yode menjawab tanya Aima.

"Bagaimana caranya?" Aima masih bertanya mencari tau apa cita-cita Yode.

"Ya..., belum tau." Jawaban singkat yang sejurus kemudian segera ditodong pertanyaan dari ujung telepon.

"Poligami?"

"Ih, ya nggak juga." Yode menjawab dengan santai.

"Syukurlah, ku kira ia akan mengiyakan tebakanku," batin Aima yang kegirangan tetapi berusaha ia tenang. "Ehm..., kupikir mau dengan poligami seperti pengenmu dulu."

"Hem, aku bahagiakan banyak orang seperti anak yatim, orang-orang terlantar."

"Mulianya..., kupikir dengan menikahi lebih dari satu perempuan." Timpal Aima memastikan.

"Aku masih ingat kau tidak ingin membagi cintaku ini dengan yang lain Aima, aku masih ingat. Aku mengerti kau masih takut, tanyamu hanya memastikan bahwa aku sudah mengubur impianku beristri empat, dan aku memang ingin menikah denganmu tanpa memberi syarat apapun." Yode mengenang keinginan Aima dalam benaknya.

"Halo! Assalamualaikum, Yod"

"Ya! Halo-halo," jawab Yode kaget.

"Kok diem..., salamku juga gak dijawab?"

"Kan gak wajib kalau didahului perkataan lain"

"Oh gitu ya? Seperti tak harus poligami untuk bahagiakan banyak orang, ya?

"Iya.. bener say...yur mayur... hehehe, eh tapi bisa jadi salah satu cara juga ya buat bahagiain banyak orang?"

Tut, tut, tut.

Yode harus merajuk sepertinya, benar-benar sensitif calon ibu anak-anakku ini, pikir Yode sambil tersenyum-senyum sendiri karena tak kaget dengan sisi kekanakan Aima yang sudah mulai ia pahami, juga sayangi.

Tut.. tut.. tut..

"Assalammualaikum, halo Aima."

A Long Time Ago...


Canda atau Cita-cita?

pixabay.com
Alkisah dua anak manusia dipertemukan di sebuah instansi pendidikan bersistem wajib asrama. Aima pasangan pegawai negeri sipil kesehatan dan ibu rumah tangga terpaksa menuruti saran orang tua karena tak ingin ada masa vakum selepas lulus SMA. Meski derajat pendidikan yang diharapkan tidak tersedia, Aima menurut dan berhasil lulus seleksi. Seorang taruni perikanan.

Tak jauh berbeda dari latar belakang keluarga Aima, Yode merupakan putra sulung seorang pegawai negeri sipil perikanan dan seorang ibu rumah tangga yang memiliki usaha toko keperluan sehari-hari. Ayah Yode merupakan alumnus instansi pendidikan yang sama, mengarahkan putra satu-satunya untuk mengikuti jejak langkahnya. Yode berhasil lulus seleksi dan menjadi seorang taruna perikanan.

Sore itu selepas kegiatan sore, Yode dan Aima yang cukup dekat setelah naik tingkat berencana jalan-jalan mencari makanan. Umaya, seorang taruni teman sekamar Aima turut serta dalam jalan-jalan sore itu.

"Aku nanti pengen punya istri empat." 

Tiba-tiba Yode berceloteh diantara dua taruni temannya kala menunggu nasi soto pesanan mereka siap di meja. Aima yang saat itu diajak menemani Yode makan seperti mendapat kabar buruk yang membelalakkan matanya. Umaya yang juga kaget, menanggapi keinginan teman satu kelasnya itu dengan santai.

 "Satu aja tak habis-habis ngapain punya empat, Yode...Yode."

"Ih, Pak Deku saja lo semua punya istri lebih dari satu," sahut Yode tanpa basa basi. Aima yang mendengar ucapan Yode seperti tersambar petir di siang bolong.

"He, memang Aima mau? Kerja aja belum sudah bercita-cita gitu," sahut Umaya. Umaya menangkap arti diam Aima kemudian segera melanjutkan ucapannya sebelum terpotong sanggahan Yode.

"Lagian, Yod..., jalan surga itu gak hanya dengan poligami kali, sealim apapun temanku ini jangan
seenaknya menempuh jalan ke surga dengan poligami. Gak terima aku." Gertakan peringatan Umaya diikuti gerakan tangan memeluk bahu Aima dan kepalan tangan lainnya di atas meja.

"Kan enak bisa saling membantu, biar lebih ringan."

Jawaban tanpa beban Yode membuat tak senang Aima yang tentu saja membuatnya kesal pun Umaya. Aima tak bisa meluapkan kekesalan atas sikap lugu seseorang yang dianggapnya cukup dekat. Umaya tau kedekatan mereka dan Aima yang pemalu tak ingin laki-laki yang mengajaknya makan sore ini, harus menerima luapan kekesalannya di hadapan teman sekamarnya, terlebih luapan kekesalan teman perempuannya.

"Sotonya, ayolah makan dulu terus balik ke asrama," kata Aima menerima tiga mangkuk nasi soto ayam dan tiga gelas teh hangat, mengakhiri perbincangan sore itu.