Gagal itu tidak enak, sangat tidak enak. Sedih pasti, mengambil hikmah belum
tentu jadi pilihan diri.
Tulisan ini berkisah tentang dua ketertarikan yang
mengapa enggan untuk menempel seperti magnet yang saling tarik menarik. Gagal
membina hubungan pasti menyisakan kenangan tidak menyenangkan hati,
i feel you tapi kata Allah, kata Tuhan kita, La Tahzan, jangan bersedih.
Why?
I. Getaran
“Pak, mie ayamnya satu mangkok.
Pean tambahi ceker setunggal nggih, Pak,” pinta seseorang yang bernada
sampai di telingaku. Ya, seseorang yang entah bagaimana bisa hanya nada suaranya
saja menggema memenuhi cerebrum, seakan menguasai tak hanya pusat pendengaran
Lobus temporal di tengkorak kepala.
Padahal saat itu hujan masih cukup deras,
kendaraan masih banyak yang berlalu lalang dengan kebisingan yang wajar di
jamnya, orang pulang kerja. Mie ayam yang telah kunikmati beberapa menit sebelum
nada itu keluar dari mulut seseorang juga masih menjadi pusat perhatian dengan
atmosfir uapnya, menggugah selera saat hawa dingin melanda.
“Permisi, ya, Mbak,” sejurus kemudian suara itu mengagetkanku yang tengah mencoba memahami gaungan percakapan seorang konsumen ke penjual mie ayam.
“Eh, iya, monggo-monggo, Pak,” ucapku menganggukkan kepala seraya tersenyum seolah sedang mempersilakan duduk.
“Kok, pak sih… mas dong.”
“Eh, iya, Mas.” Akupun kembali melanjutkan menyantap mie ayam yang sedari tadi aku aduk-aduk untuk menghempaskan uap panasnya.
“Apa aku salah tadi memanggilnya dengan panggilan ‘Pak’. Bukankah itu
panggilan yang baik karena lebih menghormati. Lagipula brewoknya yang tidak
lebat membuatnya nampak seperti seorang laki-laki yang sudah punya keluarga,”
aku membatin.
“Orang pajak, ya?”
“Ha? Bukan, Pak.”
“Loh, kok pak lagi.”
“Ah, iya, Mas. Saya sedang survei pemutakhiran Pajak Bumi Bangunan (PBB) di Kecamatan Taman sini.”
“Oh, survei… dari universitas mana?”
“Dari ITS, Pak, Mas.” jawabku belepotan.
“Haduh…
kok nggak enak banget gini,” aku membatin lagi ketika pemuda di hadapanku terus
mengajakku berbicara. "Aku harus segera menghabiskan mie ayamku dan bergegas
pergi," misi spontan yang melintas di kepalaku.
“Wah, kebetulan, aku punya banyak teman sebagai dosen di sana. Kenal Pak Dibyo, nggak? Dia temenku pengerjaan proyek. Aku orang proyek.”
“Oh, iya, Mas. Alhamdulillah,” sahutku singkat.
“Dulu waktu ada proyek di daerah Kecamatan Taman sini aku urus pajak di UPT (Unit Pelayanan Teknis) di dekat stasiun situ. Eh, tapi nggak bisa. Katanya pajak pembangunan proyek tempatnya bukan di situ tapi di pusat kota. Bener gitu, ta?” tanyanya masih menggebu.
“Maaf, saya ndak tau, Mas. Saya hanya ikut proyek ITS untuk survei,” jawabku berusaha mengingatkan posisiku hanya sebagai seorang surveyor bukan pegawai pajak.
Aku maklum kalau pria di depanku ini mengira
diriku adalah pegawai dinas pajak setempat. Aku masih
mengenakan rompi survei dengan logo kabupaten dan nama dinas saat berteduh di warung mie ayam yang luasnya sekitar 3x3 m persegi. Hari itu aku
memang belum menyelesaikan surveiku meski waktu sudah mulai petang. Hujan deras
yang tiba-tiba mengguyur jalanan pertigaan arah masuk komplek Perumahan Citra
Harmoni membuatku menepi dan masuk warung mie ayam ini.
Sepanjang depan pertigaan pintu masuk Perumahan Citra Harmoni memang
berjejer pedagang kaki lima yang menjajakan aneka santapan. Sate ayam, mie ayam,
bakso, nasi goreng mie goreng, martabak telur dan terang bulan hingga roti bakar
maupun pentol 500-an. Adanya Indomar*t di seberang jalan dan jejeran toko mulai
dari apotek hingga toko kelontong menambah ramainya lalu lalang.
Aku jadi tak
bisa mengerti, mengapa suara lelaki di hadapanku ini bisa menggema di otak. Padahal suasana jalan kota bukan lagi sunyi dan hujan sedang mengguyur dengan
derasnya. Aneh bin ajaib.
Tak sengaja aku memperhatikan lelaki yang tengah duduk di hadapanku saat ini. Ia tampak menawan
sejujurnya. Penampilannya rapi, sikapnya sopan, serta pembawaannya yang tampak
bersemangat membuatku ingin tau siapa dia.
Dia masih saja bercerita dan
bertanya, menanyakan tempat tinggalku dan bagaimana aku bisa sampai semalam ini.
Tertarik, ia aku rasanya tertarik padanya. Namun, rasa tertarik itu tidak lebih
besar dari rasa takutku untuk mengenalnya, saat ini.
Entah mengapa begitu,
mungkin aku malu pada perempuan lain yang satu meja dengan kami dan abang
penjual mie ayam yang jarak duduknya masih bisa untuk menguping kami. Mie ayamku
sudah tinggal separuh porsi. Lelaki di hadapanku justru baru saja mendapatkan
semangkuk penuh mie ayam dengan ceker ayam di atasnya.
Uap yang mengepul tak
luput dari pemandangan di sekitar mangkuk mie ayamnya. “Awas panas,” kataku
untuknya yang tersimpan dalam pikiran. Tiba-tiba aku tak ingin segera
menghabiskan mie ayamku, aku ingin berbincang lama dengannya. Hanya saja aku tidak tau perbincangan untuk mengulur waktu agar dapat tetap tinggal.
Aku merasa grogi berbincang dengannya.
Kegrogian itu semakin tampak setelah mie ayam di mangkukku benar-benar
wassalam, tinggal mangkuk dan sendok garpu saja. Aku tak punya pilihan
lain selain segera hengkang dari warung mie ayam ini. Aku tak ingin membuat
diriku malu. Hujan yang mereda juga tak bisa lagi jadi alasanku berlama.
“Eh, simpan no hpku, ya? Mau minta no hpmu, hpku tertinggal di tas.”
Kaget mendengar
permintaan lelaki yang sedang menikmati mie ayamnya, aku seperti terhipnotis dan
mengeluarkan hpku dari saku rompi dan menyentuh papan layar hp sesuai dikte
darinya.
“Siapa namanya, Pak?”
“Loh, bapak lagi. Mas Hafid.”
Aku yang tak enak
hati karena salah terus dalam memanggil segera berdiri dan berpamitan padanya.
“Nggeh sampun, saya permisi jalan dulu, Mas.”
“Sudah dimiscall? Hubungi aku ya kalau belum.”
Aku hanya mengangguk dan berlalu menuju penjual mie
ayam.
II. Angin Surga
Alhamdulillah aku bisa mencapai target survei per hari
untuk hari ini. Sebentar lagi upah atas hasil surveiku sampai akhir bulan
Februari kemarin juga tak lama lagi cair. “Asyiik…,” pekikku membayangkan
rekeningku berbunyi tuing-tuing, “hihihihi, Alhamdulillah,”
Aku jadi ingin
melihat handphone yang belum kukeluarkan dari tas sejak sampai rumah. Aku simak
percakapan teman-teman menanggapi fee yang tak lama lagi cair. Tak jauh
beda dengan membayangkan rekeningku yang berbunyi tuing-tuing, percakapan
teman-teman di grup lebih membuatku bisa cekikikan sendiri.
“Hem… Alhamdulillah,
Ya Allah,” pikirku sembari menghela nafas sesaat setelah kuselesaikan membaca
obrolan di grup kerja. Baru saja ponsel kuletakkan, aku teringat anggukanku pada
lelaki yang kudengar bernama Hafid kemarin.
“Mana ya nomornya kemarin?” aku
mulai mencari nomornya di list panggilan. Ketiadaan pulsa regular, membuatku
berani menelponnya hanya supaya nomornya tercatat. “Ehm, kemarin aku ketemu
sekitar magrib,” gumamku sambil mencari.
“Hei, aku sudah menyimpan nomornya
kemarin selesainya salat magrib di musala tak jauh dari penjual mie ayam. Ah,
dia punya wa juga seingatku kemarin,” pekikku dalam hati. Jelas saja di list
chat wa tidak ada karena aku belum mengontaknya sejak kemarin.
“Aku sudah
menurutinya dengan menghubunginya meski tak terhubung dan menyimpan nomor
handphonenya. Kenapa sekarang aku bingung untuk chat orang ini,” protesku
pada hati yang tak sejalan dengan pikiran.
Gambar seorang karateka wanita luar
negeri aku perhatikan, ini adalah foto profil lelaki bernama Hafid itu. Akhirnya
kuhubungi ia melalui wa.
“Prima”
“Hi, makasih. Kapan-kapan ngopi, yuk?”
“Aku tak biasa ngopi. Kenapa baru kenal sudah mau ngajak ngopi?”
“Karena aku suka kamu.”
“Ha? Yang benar saja! Apa maksudnya
suka. Ah, suka sebagai teman ini pasti maksudnya,” aku membatin.
“Suka sebagai teman, kan?”
“Ya, nggak lah. Lebih dari teman.”
“…”. Aku diam tak berkutik.
Suka, kata ini sangat lama tak kudengar, ‘Suka’. Aku masih termangu membaca
balasan laki-laki yang baru kukenal ini.
III. I Love You?
Tidak terasa bak usia
Ejaan Pembaharuan, Ejaan Melindo, dan Ejaan LBK atau sekitar lima tahun sudah
kita berkenalan. Tinggal-meninggalkan, lupa-melupakan, maaf-memaafkan, hingga
kembali-mengembalikan seperti wayang yang dimainkan dalam cerita perkenalan
kita.
La Tahzan, firman Allah Swt dalam Al-Qur'an bukankah selalu
menghibur kita dan tentu sepatutnya kita tidak bersedih karena kita sudah
sesabar ini untuk saling mengenal hingga selama ini.
Ketika aku melihatmu
Diam
menikmati minumanmu
Bukan kopi
Melainkan teh
Karena akhirnya kutau
Kau
tak biasa minum kopi
Kenapa berbeda Antara pertama
bertemu
Aku lebih senang melihatmu bersemangat
Seolah tak ada
aral rintang yang tak bisa kau taklukan
Kau bukan Hafid
Namamu Aviv
Entah apa alasanmu
Mengapa membiarkanku salah
Hingga kudapati yang benar
Kukira kau tak bisa menyerah pada keadaan
Bahkan bila yang kau hadapi Izrail
Yang kurindu
Tetapi…
Untukmu Tak ada kata kecuali
Karena aku menantikanmu sejak jauh hari
Kaukah itu?
Bagaimana
pun masa lalumu
Bagaimana pun kondisimu
Aku berharap Allah menerangi jalanmu
Menemukanku walau tak lagi
Di dekatmu
Semoga diriku cukup untukmu
Senyumku bisa
membayar lelahmu
Tak pernah menyerah padaku
Hope Allah always
keep you safe
Keep your smile
Kita pasti bersama
Bila menurut Tuhan MahaTahu
Bersama adalah terbaik untuk akhir cerita kita
Namun memori yang membuat luka
Memang tak mudah untuk dilupa
PR yang tak mudah
Hingga luka tak lagi berbekas
Dalam jiwa yang boleh lelah
La Tahzan
Catatan:
LATAHZAN. Tulisan
ini pernah diikutsertakan dalam program WFH (Writing for Healing) yang
diadakan oleh Books4care, pada tahun 2020. Dengan perubahan yang diperlukan pada saat diunggah ke blog pribadi ini, sebagai kenang-kenangan, apresiasi diri dalam membuat karya tulis berupa memoar diri. Sekalipun belum lolos
untuk dibukukan, tulisan lain dalam program WFH (Writing for Healing) dapat dibaca dalam antologi bersama "Perjalanan Luka".
Kunjungi saja laman kinaraya.com-Karya Kembar di Era Pandemi atau hubungi no wa adminnya di +62856-9546-2056 untuk pemesanan. Teman-teman juga dapat mengikuti sayembara kepenulisan yang biasa diadakan oleh ig:Books4care. Terima kasih dan semoga bermanfaat.