Selasa, 12 September 2017

Antara Kebenaran atau Keselamatan

pixabay.com
pixabay.com oleh wal 172619

     Assalammualaikum Wr. Wb.

   Pagi-pagi makan mentimun
   Lebih baik makan nasi
       Daripada duduk melamun
        Lebih baik kita mengaji


 “Bisnis yang paling bagus bukan hanya bisnis yang Menghasilkan Uang saja, tapi juga yang SEMAKIN MENDEKATKAN OWNERNYA DENGAN PENCIPTANYA”

     Kupikir hal tersebut benar, setidaknya itu yang kulihat. Baik pada pengusaha yang menggurita perusahaannya (Chairil Tanjung, Hary Tanu Soedibyo, Dahlan Iskan, dll) maupun penjual roti di pasar dekat rumah.

     Apapun itu... entah bisnis... entah pekerjaan bahkan mungkin entah itu sakit, kalau itu jadi membuat kita semakin ingin dekat pada pencipta, jadi ingin berbagi kebaikan, jadi ingin lebih bermanfaat untuk banyak orang, bukankah InsyaaAllah itu bagus, itu baik???

     Menanyakan hal di atas pada diri sendiri menggiring diri mengingat yang terjadi sepanjang perjalanan ke Kecamatan Candi, Sidoarjo, pada hari Minggu (10/09/2017). Jadwal kuliah umum gelombang II bersama Bu Rum (tim kerja sekaligus sahabat ngajiku di TPQ Ibnu Sina) dan teman-teman seperjuangan lain. Kuliah yang pada jadwal dimulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB, mengharuskan kami berkumpul pagi-pagi sekali menurutku hehe (06.30 WIB) di rumah Bu Masroatul untuk berangkat bersama-sama menaiki permadani eh salah maksudku sejenis Elf putih.

    Sudah jadi pertarunganku setiap hari untuk bangun pagi. Jangankan bangun petang/dini hari untuk membiasakan sholat tahajjud yang kabarnya punya seabreg keindahan (manfaat), bangun beberapa saat sebelum atau sesudah adzan subuh saja kadang masih sulit untuk kubiasakan. Belum mampu istiqomah (pray for me ya... hope Allah give consistency for me. Thank you ^^). Singkat cerita, kali ini aku berangkat seorang diri naik sepeda motor. Aku melesat dengan cepat membelah lautan angin hehehe keren kan daku (padahal biasa aja ya.. hehe).  Hingga sampailah aku yang tergesa-gesa (tapi sok tenang) di area pasar di pinggir kota Sidoarjo, pasar setelah belokan dari daerah Lebo, tempat berdirinya SMP Progresif Bumi Sholawat, asuhan KH. Agoes Ali.

       Aku terasa melambat, sejak masuk area pasar di pinggir jalanan kota tadi. Aku mulai sedikit panik karena menyalip atau tidak menyalip laju sepeda motor yang kunaiki tetap merayap. Teringat sekitar pukul 09.00 WIB aku baru keluar dari rumah, semakin memutar otakku untuk menemukan cara agar segera lepas dari jubelan aneka kendaraan bermotor. Aku yang sudah berada di tengah lajurku hendak menyalip mobil di depanku, aku melaju lambat di belakang kanan mobil tanpa melewati garis putih, pemisah dua lajur jalan raya. Sayangnya, hatiku jadi kesal. Huft... masyaAllah... mangkel sekali karena dari arah yang berlawanan, sepeda motor lebih besar memakan lajur lawannya, pengendara dari arah berlawanan tadi keluar dari garis putih, batas lajurnya dan lajurku. Aku yang tersulut emosi pun  kekeh... "Biarkan saja, aku tak ingin berlindung dan sembunyi di belakang mobil", pikirku merasa benar. "kalau aku tak geser ke kiri, masak iya dia tetap di tempatnya. Lagipula aku kan benar aku juga sedang tergesa-gesa." Aku tidak mau mengalah, pikirku masih kekeh mempertahankan posisi striker.

      Aku masih berada di posisiku tadi, hendak menyalip mobil di depanku. Aku yang merasa benar (karena tak melewati garis putih, garis pemisah), merasa yang dipakai pengendara motor gede tadi adalah lajurku, hakku. Semakin mendekat padaku, motor yang lebih besar tak juga mengalah, kalau sudah begitu apa aku harus tetap berada di posisiku?
dan pada akhirnya....
        Aku pun mengalah. Rem di sisi tangan dan kiri segera kurapatkan pada stang motor. Kujajakkan kaki dan kupersilahkan lawanku lewat dan golll...
       Alhamdulillah, ia lewat dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Mencoba untuk merasa bersyukur adalah yang aku lakukan setelahnya. Aku pikirkan saja, kalau aku sampai sliding takling dia dan dia jatuh... Kasihan kan keluarga yang menanti di rumah. Hehe padahal bukan sepak bola ya?
        Ya, begitulah, sekalipun aku benar, hal itu jangan sampai membawa keburukan, ketidakmanfaatan, kemudhorotan pada diri sendiri dan orang lain. Coba bayangkan, jika aku yang merasa benar (dan memang benar sesuai peraturan lalu lintas yang kutau) tetap bersikeras untuk tidak mengalah, maka bisa kita bayangkan apa yang terjadi, mulai pengendara dari lawan arah yang terpaksa merepet kembali ke lajurnya (kalau itu mungkin dan nyatanya tidak menjadi mungkin), terjadi kecelakaan, bahkan kematian atau kecelakaan beruntun. Semakin terlambat aku mengikuti kuliah umum, bukan? Ya, tentu saja. Bahkan mungkin tak jadi mengikuti kuliah umum sepanjang hari itu yang akhirnya berdampak tidak diperkenankan mengikuti wisuda. Ketika itu terjadi, apa aku bisa menuntut kebenaran untuk bertanggung jawab? Bisa. Orang tinggal nuntut aja. Apa aku bisa mengubah ketetapan pihak penyelenggara untuk membuat pengecualian? Bisa. Kan ada Allah. Hehe peace

      Menegakkan kebenaran memang berat kawan. Benar di mata manusia juga belum tentu benar di mata Allah. Buktinya soal idealisme garis putih. Bisa buruk kan jadinya kalau idealisme kupertahankan atas nama kebenaran?

        Dari situlah aku makin bersyukur, karena aku masih bisa berpikir dan memutuskan yang lebih tepat. Sejalan dengan itu, aku keluar dari karnaval kendaraan roda empat dan lebih, kendaraan roda dua, bahkan kendaraan tak beroda. Aku kembali melaju dengan cepat bak panah yang membelah raja kelana. Lantas, sampaikah aku mengikuti bagian akhir kuliah umum jam pertama yang berakhir pukul 10 pagi? Jawabannya...... adalah...... tidak, aku tersesat sebelum akhirnya aku menemukan kembali jalan yang benar. Apa yang kudapati saat tersesat?

KEBENARAN HAKIKI ADALAH MILIK ALLAH SWT

Wallahu 'alam bishowab